“Bahwa tidak ada tempat yang lebih menyedihkan di dunia ini daripada sebuah ranjang yang dingin.” ~ Gabriel Garcia Marquez ~ Chronicle Of A Death Foretold
Sudah sekitar setengah jam lebih aku hanya asik berbincang-bincang dengan istri kawanku di beranda rumahnya. Kekasihku, sedari-tadi kami datang di rumah kawanku ini terlalu asik bermain dengan satu-satunya anak mereka di luar. Sementara kawanku, sang suami, hanya duduk membisu di samping istrinya—yang berhadap-hadapan denganku—dengan tatapan kosong.
Aku sangat ingat, kawanku yang memintaku untuk datang berkunjung ke rumahnya sore ini—dengan sedikit memohon—karena ada hal cukup penting yang ingin di bicarakan oleh mereka berdua kepadaku. Namun, yang aku dapat hanya sapaan darinya ketika aku dan kekasihku baru muncul di pagarnya: “Apa kabar, kalian?” Setelahnya, tak ada lagi kata-kata kawanku yang menetes dari bibirnya selama setengah jam itu, selain: “Mau minum apa, kalian?”
Aku tak tahu apa yang terjadi dengan kawanku. Setiap aku berkata kepadanya, tak ada reaksi sekecil apa-pun yang hadir darinya untuk merespons-ku. Hanya istrinya yang menjawab semua kata-kataku yang aku tujukan kepadanya. Jujur, aku cukup kesal dengan perlakuan dingin kawanku ini. Sungguh aneh bagiku. Dengan meneguk kopi hangat yang di sediakan oleh adik iparnya, aku membiarkan kawanku membisu seperti orang tolol yang fatalis. Tak ada kata-kata lagi yang aku gulirkan kepadanya. Aku memilih berbicara dengan istrinya saja. Berbicara tentang anak mereka.
Saat aku meneguk kopi yang di sajikan dengan cangkir bergambarkan kepulauan Indonesia, istrinya membuka lembar pembicaraan baru. Tentang teh dan kopi. Juga menjalar ke Karl Marx dan Tan Malaka. Aku baru mengetahui darinya, bahwa Tan Malaka adalah penikmat gila teh, sedangkan kopi adalah kesukaan Karl Marx. Bagiku, istrinya sangat lihai meniti temali untuk menyambung pembicaraan di antara aku dan dirinya. Pembicaraan yang terjalin hangat di bisunya kawanku yang hanya duduk terdiam seperti patung Arca—atau juga layaknya bangkai ikan-ikan segar yang membelalakan matanya di atas es batu, di dini harinya Muara Angke.
Tak terasa, senja telah mendatar membelenggu langit ketika istrinya berjalan meninggalkan kami berdua menuju depan jalan—di mana kekasihku sedang bermain bersama anak mereka. Seketika saja—sesaat setelah istrinya menguap dari pandangan kami—bleger, seperti dentuman halilintar yang menohok gendang telingaku saat aku mendengar kawanku berkata singkat kepadaku: “Istri gw cinta sama lo!”
Kini, wajahku mungkin yang terlihat seperti bangkai ikan-ikan segar. Aku, ah…entahlah. Dan aku hanya bisa berkata: “Apa? Gila lo ah!” Dengan sunggingan senyum layaknya wajah yang menahan rasa tidak nyamannya sakit gigi, aku kembali berkata, mengutip Mahatma Ghandi: “If I had no sense of humor, I should long ago have committed suicide.”
“Bego! Ini serius!” Tatapnya tajam dengan mata yang tetap membelalak.
Jujur saja, aku masih meletakan kata-katanya sebagai lelucon. Aku mencoba mempertanyakan kepadanya, apakah hanya untuk lelucon ini dia memohon kepadaku agar aku berkunjung ke rumahnya. Sungguh, humor kelas wahid. Namun, apa yang aku dengar darinya selanjutnya ternyata memutar peletakanku akan kata-katanya hingga 90 derajat.
Dia menuturkan kecurigaannya terhadap istrinya secara men-detail kepadaku. Dari apa yang aku tangkap secara garis besar penuturannya, istrinya selalu menanyakan tentang diriku—semenjak mereka mengetahui aku kini telah tiga minggu berada di Bekasi. Bahkan, menurutnya, istrinya kini merajah tubuhnya untuk menuliskan namaku—tepat di bagian kiri pinggulnya—tanpa dia tahu kapan persisnya istrinya membuat tato itu. Dan ternyata, apa yang membuatnya menghubungiku untuk memintaku berkunjung ke rumahnya lebih karena dia malas menjawab pertanyaan-pertanyaan dari istrinya—yang menanyakan tentang diriku, dan terlebih setelah adanya tato itu. Sementara, kepentingan pribadi kawanku atas diriku hanya untuk sekedar membertitahuku bahwa istrinya mencintaiku.
Dahiku mulai berkerut, terlihat silindris mungkin. Akan tetapi, aku mencoba menyanggah kecurigaanya terhadap istrinya. Aku berkata padanya: “ Kalo istri lo cuma nanya-nanya tentang gw, itu mah wajar. Namanya juga kawan! Tapi, buat yang tato itu, emang lo yakin nama gw yang tertulis?”
“Gw satu ranjang sama dia, Ji! Gw yakinlah! “ Dia meyakinkanku dengan tegasnya. Kemudian, melanjutkan kata-katanya dengan lebih tenang : “ Iya, buat gw juga kalo sekedar nanya-nanya tentang lo, itu masih wajar! Tapi, setelah gw liat tato itu, yah gw jadi curigalah—dan pertanyaan-pertanyan istri gw itu kan jadi semacam indikasi juga untuk semakin nguatin kecurigaan gw sama dia. “
Pembicaraan kami terhenti ketika langkah-langkah anaknya yang berlari dengan riangnya—di ikuti dengan istrinya dan kekasihku sekitar tiga meter di belakangnya—menuju ke arah kami. Kawanku menghentikan langkah kaki anaknya dengan pelukan, menggendongnya, lalu melangkah masuk meninggalaknku di beranda rumahnya. Istrinya kembali menemaniku, mengambil kursi di hadapanku. Sedangkan kekasihku, mengambil kursi di sisiku. “Aku dengar kamu punya tato baru. Boleh liat?” Tanyaku kepada istrinya.
“Wow, aku juga mau liat dong!” Timpal kekasihku.
Istrinya tersenyum, kemudian mengangkat perlahan bagian bawah kaosnya yang bergambar wajah Morrissey. “A J I.” Baca kekasihku terhadap tato yang menghiasi pinggul itu.
Entah kenapa, aku lebih suka membacanya secara benar dan tepat terhadap apa yang tertulis di pinggulnya yang sangat eksotis itu: “4 J 1”. Mungkin karena aku ingin menolak latar belakang kecurigaan kawanku kepada istrinya itu. Atau mungkin hal lainnya, mungkin. Namun, terlepas probabilitas-probabilitas itu, toh apa yang tertulis di sana memang: “4 J 1”, bukan “A J I”—di mana di atas tulisan itu juga tersaji gambar dua orang yang sedang berpelukan hangat.
“’4 J 1’, bukan ‘A J I’. Kamu salah baca tuh!” Ucapku kepada kekasihku.
“Tepat!. Tato-ku itu bertuliskan: ‘4 J 1’, bukan ‘A J I’. ‘4 J 1’ tuh maksudnya: 4 Januari 2001, tanggal pernikahanku!” Timpal sang pemilik tato, membenarkanku.
Setelah—sedikit perbincangan tentang tato miliknya, yang di lanjutkannya dengan—bercerita tentang dinginnya suasana rumah mereka beberapa hari ke belakang, kami beranjak dari beranda untuk masuk ke dalam rumahnya ketika ungunya langit membentang menandakan senja akan segera berakhir. Aku sudah mendapatkan sebuah konklusi bahwa kawanku hanya salah dalam membaca tato istrinya itu. Kini, yang tersisa dan membuatku tak habis pikir adalah, bagaimana kawanku mengambil keputusan bahwa tato itu adalah tato yang meng-indikasi-kan bahwa istrinya mencintaiku. “4 J 1”, bukan “A J I”. Di mana tato itu adalah sebuah akronim dari hari pernikahan mereka, 4 Januari 2001. Aku masih ingat hari itu. Hari di mana tujuh bulan setelah kelulusan mereka dari jenjang pendidikan SMA. Hari di mana sepasang insan yang saling mencintai sepakat membentuk sebuah keluarga.
Di ruang santai rumahnya, aku menghampiri kawanku yang sedang terduduk di hadapan laptop-nya. Aku mempertanyakan komunikasi dan interaksi yang terjalin di antara mereka belakangan ini. Sebab, sebagaimana yang di tuturkan oleh istrinya, bahwa interaksi dan komunikasi mereka beberapa minggu ini beku—terlebih sembilan hari terakhir. Aku pun membulatkan perkiraanku sendiri akan kesalahpahaman di antara mereka—yang kini juga sudah melibatkanku di dalamnya—bahwa kesalahpahaman ini berakar dari aktifitas ranjang mereka. Sebab, bagaimana mungkin aktifitas ranjang mereka baik-baik saja, sementara salah satu di antara mereka tak pernah benar-benar peduli atas tubuh lawan mainnya.
Bekunya komunikasi dan interaksi di antara mereka, menjadi semakin parah karena “infantil-nya” aktifitas ranjang mereka.
Dan benar saja, dari apa yang tertutur lewat bibir kawanku adalah, bahwa semenjak sembilan hari lalu—ketika dia baru melihat tato baru itu menghiasi pinggul istrinya—itu adalah hari di mana mereka melakukan aktifitas seksual terakhirnya, atau pertama kalinya dengan tato di pinggul istrinya. Setelah aktifitas seksual itu, kawanku tak pernah lagi menyentuh istrinya—juga tak berkomunikasi dalam bentuk apa-pun jika istrinya tak membuka komunikasi terlebih dahulu.
“Elo tau, kenapa istri lo dua minggu ke belakang selalu nanyain gw?” Tanyaku, dengan senyum yang menggunting. “Terus, kenapa istri lo lima hari lalu ngajak adiknya untuk tinggal di sini bersama kalian?”
Dia memalingkan tatapannya dari layar laptop ke wajahku. Tak berkata apa-apa. Lalu, aku pun memberi alasannya: “Bukannya gw bermaksud sok tau, tapi tadi istri lo cerita ke gw, kalo suasana rumah ini berubah sejak lo terlalu banyak ngabisin muka di depan laptop. Emang seharian lo di kantor, apa gak muak sama alat sok pinter ini, sampe saat di rumah lagi-lagi lo berjam-jam ngabisin waktu di depan alat ini? Istri lo kesepian, dia butuh lawan bicara!”
Dia terus menatapku, lalu secara perlahan mulai berkata: “Itu sih gw udah tau, dia udah sering ngomong kok!”
“Gila lo, ya! Terus… kenapa lo gak coba menghangatkan suasana rumah lo?”
“Kalo aja gak pernah ada tato di pinggulnya malem itu saat gw lagi main di ranjang sama dia, semua udah pasti lebih baik, gak bakal lebih ancur kaya gini! Pokoknya, beku-beku sekalian deh antara gw sama istri gw, kecuali untuk anak gw!”
“Nah, itu lo udah tahu kelemahan pertama lo itu di mana, dan lo sebenernya mau memperbaikinya. Tapi, elo gak sadar akan kelemahan kedua lo, dan itu yang terfatal—kalo dari kacamata gw sih—yang bikin lo jadi salah paham ama istri lo, dan gak jadi memperbaiki kelemahan pertama lo… malah memperparahnya.”
“Kok jadi panjang sih, makin gak jelas lagi omongan lo! Gak ngerti gw.”
“Yaudah, gw perpendek aja dengan kata-kata yang panjang biar lo puas, gw juga mau pulang kok bentar lagi.” Aku tertawa. Tertawa sedih atas aktifitas ranjangnya. “Coba entar lo liat lagi dan bener-bener perhati’in tato istri lo, terus tanya makna filosofis tato-nya kalo lo gak ngerti! Gw sama cewe gw tadi udah liat dan juga udah tau tato istri lo! Niat istri lo dengan tato-nya itu, menurut gw sih, tindakan apresitif untuk hubungan kalian.” Aku tersenyum, sementara wajahnya semakin nampak bingung dengan apa yang aku maksud. Aku kembali berkata—mungkin dalam pandangannya—dengan gayaku yang semakin sok tahu: “ Tapi, emang dasarnya aja lo yang payah. Mungkin, elo pemain ranjang terburuk yang pernah gw kenal. Bahkan untuk pinggul se-eksotis punya lawan main lo yang jelas-jelas daerah ‘terang’, elo gak pernah betul-betul peduli buat merhati’in—apalagi daerah-daerah yang ‘gelap’. Gw gak ngerti gimana cara lo bermain di ranjang. Mungkin kaya permainan bola Inggris jaman dulu—‘Kick n Rush’, ya? Seks, bukan sekedar kegiatan reproduktif, Bego; bukan juga sekedar tendang-buang, ataupun teken-tarik! Payah lo…ah!”
Sekitar delapan jam setelah kepulanganku dan kekasihku dari rumah mereka, atau tepatnya dini hari saat aku terbangun dari tidurku di sofa ruang tv rumah kekasihku, ponselku berdering: “Tato yang keren! Hehehe……” Sebuah pesan masuk, yang di kirim oleh kawanku ini.
Aku tertawa cekikian seorang diri setelah membaca pesan dari kawanku. Kekasihku terbangun dari tidur nyenyaknya. Mungkin karena merasa terusik dengan suara tawaku. Aku tersenyum untuk menyambut wajah kekasihku yang baru di angkatnya dari dadaku. Kemudian, aku menatap layar ponseku kembali dan membalas pesan dari kawanku: “Tolong di konfirmasi, apa lo yakin kalo istri lo bener cinta sama gw? Dan ucapin makasih banget atas nama gw yang di rajah di pinggulnya!”
“Moron bin ass hole! Tato itu tulisannya ‘4-J-1’, bukan ‘A-J-I’. Jangan mimpi lo! Hehehe……” Balasnya, bukan melalui sebuah pesan pendek, melainkan suara memecah yang di antar oleh microphone ponselnya ke speaker ponselku.