Feeds:
Pos
Komentar

Di Simpang Lima

Angkotan kota ini berhenti dari lajunya yang perlahan. Dua orang wanita menaikinya dan duduk di hadapanku. Mereka berdua asik berbincang dan tertawa ringan di dalam mobil berkapasitas 15 orang ini. Aku, yang duduk di hadapan mereka, membisu dalam fokus-ku untuk memperhatikan salah satu dari mereka yang di mataku berkilau di redupnya Semarang sore ini. Jujur, sebenarnya aku ingin terlibat dalam komunikasi mereka. Namun, aku sadar bahwa perbincangan mereka tidak memberikan tempat kosong untuk orang asing sepertiku—yang mana apabila aku memaksakan untuk ikut terlibat, maka aku akan terlihat seperti orang aneh yang sok akrab, juga sok tahu—kecuali jika aku membuka wacana baru dengan menggunakan taktik klasik untuk memulai perbincang dengan mereka. Tetapi, seandainya aku mengambil sebuah pengecualian itu, mungkin aku akan merusak tawa mereka.

Sepanjang perjalanan mereka berbincang dan tertawa, hingga akhirnya salah seorang wanita tersebut turun meninggalkan kawan berbincangnya. Di sinilah keberuntunganku. Wanita yang masih bersamaku dalam angkutan kota ini adalah wanita yang memang menarik perhatianku dengan kilaunya. Aku pun menyapanya. Dan sungguh, ketika dia merespon-ku dengan senyuman indah dan suaranya yang sangat lembut, aku dibawa terjatuh dan mencair.

Semoga jalan sepanjang Salemba hingga Cikini di Jakarta atau Monjali hingga Gejayan di Jogjakarta—maupun di mana saja—dapat menjadi saksi untuk pertemuanku selanjutnya dengan wanita ini, sebagaimana jalan di sepanjang Universitas Sultan Agung, Kota Lama, hingga Simpang Lima yang menjadi saksi atas waktu yang kuhabiskan untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi dengan penuh kehangatan.

Wanita ini, meninggalkan sesuatu di hatiku.

You can’t separate peace from fredoom because no one can be at peace unless he has his freedom.” ~ Malcolm X.

Pagi itu, Temanggung masih dalam keadaan kondusif ketika bus antar kota jurusan Semarang-Magelang-Jogja yang kunaiki melewatinya. Tak ada indikasi yang tertangkap oleh mataku akan terjadinya aksi penyerangan. Malam harinya, ketika aku sedang berada di sekitar alun-alun kota Magelang, puluhan mobil polisi dengan bunyi sirine-nya yang mengalun, berjalan cepat melaluiku. Tentunya, membentuk pertanyaan dalam diriku. “Ene opo kae?” (Ada apa itu?) tanyaku pada ketiga kawan-kawanku, sang tuan rumah.

Seorang di antaranya menjawab, “ Neng Temanggung ene sing bakar-bakar. Opo kowe ora ngerti? ” ( Di Temanggung ada yang bakar-bakar. Apa kamu gak tau?)

Kemudian aku bertanya perihal peritiwa tersebut. Ketika seorang kawanku yang lainnya dengan detail bercerita padaku, aku menatap langit, dan kusaksikan—seakan-akan langit menunjukan—bahwa dirinya memang lebih “tinggi” dari bumi. Sepertinya, benar adanya perumpamaan sesuatu yang sangat berbeda dengan menggunakan metafor “bumi” dan “langit”. “Bagaikan bumi dan langit.” Bumi dapat “terkotori”, sementara langit terinjak pun tidak.

Beberapa hari telah berlalu ketika aku menginjakan kaki untuk pulang ke rumah ibuku. Di kota yang terletak di pinggiran timur ibu kota dan dipenuhi dengan pabrik-pabrik ini, aku menghubungkan diri kembali dengan internet setelah sekitar satu minggu aku berpuasa atasnya. Aku membaca dari salah satu blog, bahwa di Cieukesik, Banten, telah terjadi sebuah peristiwa. Aku melihat video pembantaian di Ciekeusik tersebut—yang mempertunjukan aksi “heroik” atas nama kemurnian agama—namun aku tak sampai menonton video itu hingga selesai, karena sungguh, aku mual. Malam harinya, kita terlibat diskusi via surel. Cukup panas. Kau menuduhku ingin menjadi bagian di dalamnya hanya karena aku menyatakan diri menentang keras gerakan-gerakan fasis seperti ini. Dan maaf, ketika aku bertanya padamu, dan kau bilang aku berlebihan mempertanyakannya, “Apakah sekarang kau sudah apatis terhadap hal-hal seperti ini, atau sebuah toleransi?” Sekali lagi maaf, mungkin pertanyaanku memang berlebihan ketika itu.

***
Kemiskinan dan derita hidup, mendorong fasisme semakin subur di Nusantara. Pemerintah, mencuci tangan mereka—dan justru memanfaatkannya, agar isu-isu yang memojokan mereka bertukar posisi. Memang benar adanya, di tanah dengan arus gelombang kemiskinan yang bergejolak tinggi dan rasa frustasi karena derita yang terus-menerus menghantam, memberi ruang besar bagi fasisme untuk mengilusi orang-orang dengan topeng manisnya—entah itu yang berwajah profanik; ataupun yang berwajah surgawi, di mana ternyata janji surgawi tanpa garansi tersebut sangat menjual di negri ini.

Aku teringat Nietzsche yang membagi manusia menjadi dua jenis: “moral budak” dan “moral tuan”. Bagiku, manusia bermoral budak inilah yang ingin mengulang sejarah kelam Eropa di bawah Inkuisisi. Bersembunyi di balik pretensi surgawi, mereka tak berkata ‘ya’ pada hidup. Mereka hidup di bawah ketakutan: semua bid’ah, yang dideteksi oleh mereka sebagai virus, harus disembuhkan atau dimusnahkan agar kemurniaan tetap terjaga—karena mereka takut terinfeksi dan diri mereka tak lagi suci, di mana dengan itu tiket menuju surga menjauh pergi. Iman yang penuh dengan ketakuatan. Hidup yang menyerah kepada keputusasaan. Mereka takut kehilangan surga. Surga? Ya, surga—sudah tentu, menurut mereka!

Aku ingin bertanya, bukankah Sang Cinta memberi kita kebebasan di tanah ini untuk membaca, menafsirkan, mengikuti seseorang yang kita anggap penerang dalam hutan yang gelap dan memilih jalan kita masing-masing untuk menuju cinta-Nya—bahkan untuk tidak mengakui eksistensi-Nya? Lalu, mengapa harus ada yang dipaksa dan memaksa? Bukankah dengan demikian tak ubahnya dengan Enver Hoxha yang menutup masjid-masjid dan gereja-gereja di Albania—demi kemurnian atheisme-nya—dan ironisnya, merasa bangga berteriak-teriak mengumumkan apa yang telah dilakukannya? Apakah dunia adalah sekumpulan bigot?

Aku sadar bahwa kejadian-kejadian seperti ini haruslah dibendung—karena hal ini sudah sering terjadi, bahkan jauh sebelum kejadian Ciekeusik dan Temanggung. Bagaimana mungkin aku hanya menutup mata apabila kejadian-kejadian ini terus berulang—terlebih di kota di mana tempatku mengurai rasa rinduku pada keluargaku, Bekasi, yang cukup sering terjadi hal-hal semacam ini—walaupun tak separah Ciekeusik yang mengakibatkan tiga orang tewas dengan menggenaskan. Aku memang kagum terhadap Leo Tolstoy dan Mahatma Gandhi—yang seorang pasifis—namun aku mengerti mengapa George Orwell pernah menyatakan bahwa pasifis adalah pro Nazi. Tentu, ucapan Orwell bukan untuk dibaca secara harfiah. Hanya para “fundamentalis absurd” yang selalu membaca secara harfiah—dan sangat menggelikan ketika mereka merasa memiliki otoritas untuk memaksakan hasil interprestasinya terhadap orang lain. Bagiku, menutup mata pada kejadian-kejadian semacam ini dengan bersembunyi di balik jubah pasifisme merupakan kamuflase dari “fatalisme”—yang menyerahkan nasib kebebasan di jurang kematian. Menyerahkan nasib kebebasan hancur begitu saja, tanpa mencoba mempertahankannya.

Aku cukup yakin, seandainya kita membiarkannya terus terjadi, maka gerbang terbesar yang menanti di depan kita adalah… oh, tunggu, biarkan aku menyanyikan sebuah lagu:

The future teaches you to be alone
The present to be afraid and cold
So if I can shoot rabbits
Then I can shoot fascists

Bullets for your brain today
But we’ll forget it all again
Monuments put from pen to paper
Turns me into a gutless wonder

And if you tolerate this
Then your children will be next
And if you tolerate this
Then your children will be next
Will be next
Will be next
Will be next

Gravity keeps my head down
Or is it maybe shame
At being so young and being so vain

Holes in your head today
But I’m a pacifist
I’ve walked La Ramblas
But not with real intent

And on the street tonight an old man plays
With newspaper cuttings of his glory days.
” ~ Manic Street Preachers ~ If You Tolerate This(Then Your Children Will Be Next).

Jika kita memberi toleransi kepada fasisme, maka itu adalah intoleransi terhadap kebebasan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Apa sebenarnya kau hanya takut? Jika kita takut untuk membendung gerakan-gerakan fasis semacam ini—dan ya, kuakui—aku juga takut. Aku tak punya cukup keberanian. Tapi, ingatkah kita kepada Munir? Munir meninggalkan banyak pesan kepada kita untuk berani, bahkan terhadap kekuatan militer sekali pun. Salah satu di antaranya adalah ketika dia berkata, “Aku harus bersikap tenang walaupun takut untuk membuat semua orang tidak takut. Normal, sebagai orang, ya pasti ada takut, nggak ada orang yang nggak takut, cuma yang coba aku temukan adalah merasionalisasi rasa takut.

Malam ini, ketika aku dan beberapa kawanku sedang menunggu laga La Liga antara Barcelona vs A. Bilbao di sebuah toko komputer milik seorang kawan yang terletak di dekat rumah ibuku, aku mendengar beberapa kawanku secara serempak berkomentar dengan berani bahwa kejadian-kejadian semacam ini tak bisa dibiarkan terus terjadi—terlebih di kota di mana kami tumbuh besar bersama, yang mana para martir penuntut kemurnian semakin agresif. Maka, aku semakin percaya bahwa kami cukup kuat untuk membendungnya—setidaknya di sekitar lingkungan kami.

***
Aku hanya tak mengerti mengapa kau menuduhku seperti itu. Kau tak perlu khawatir—seandainya tuduhanmu itu, sebenarnya berangkat dari rasa khawatir-mu padaku—jika itu memang kekhawatiran dan kau sungguh khawatir padaku. Percayalah, jalan yang kupilih bukanlah untuk meniup terompet perang—seperti yang kau tuliskan di blog personal-mu—melainkan untuk merengkuh kedamaian, hanya saja caraku berbeda dengan para pasifis. Bagaimana mungkin aku diam saja ketika di depanku sekumpulan orang berteriak-teriak menghalalkan darah orang lain—mungkin termasuk darahku—hanya karena berbeda! Minimal, aku harus buka suara, bukan? Kau, tak ada di posisiku. Kau berada jauh di negri—di mana Van Bronchost memilih kewarganegaraanya—yang di salah satu kota terindahnya, Theo Van Gogh, sutradara kontroversial yang pernah berfoto bersamamu, meradang nyawa. Namun, bukankah kau akan kembali ke Nusantara ini setelah disertasi-mu usai—untuk hidup di dekatku dan kawan-kawan kita?

Aku hanya tak bisa membayangkan anak-anak kita membunuh saudara-saudaranya dengan berteriak-teriak memanggil nama-Nya, Yang Maha Besar. Atau, membayangkan anak-anak kita yang berada di posisi sebaliknya. Sungguh, aku tak bisa…sungguh!

Yakinlah, bukan peperangan yang kuinginkan, tapi cinta—demi cintaku kepada-Nya, pada hidup dan padamu—duhai kawanku. Aku teringat sebuah lagu Chumbawamba, ‘Enough Is Enough’. Lirik pembuka—yang kurasa cocok untuk mengakhiri tulisanku ini—berbunyi:

Open your eyes
Time to wake up
Enough is enough is enough is enough
.”

Dank! ~ Aji Arjeendt, kawanmu—mungkin memang bukan yang terbaik.

Kemajuan

Senyum hangat mentari belum singgah di kota ini ketika aku sampai di stasiunnya. Subuh yang baru ditinggal hujan, terlihat dari jalan rayanya yang basah. Stasiun ini, sudah tak pernah kuinjak sekitar sepuluh tahun lamanya. Purwokerto, Purbalingga, setelah sekitar sepuluh tahun lamanya, kini aku hadir kembali untuk mendengarkan kesunyian malammu, untuk kemudian menjilati rerumputanmu—di pagi hari yang basah terlapisi embun—dengan kaki telanjangku. Aku rindu suara sunyi malam menyatu berkomposisi dengan gemercik air sungai yang mengalir, di tambah oleh nyanyi jangkrik dan katak yang bertabrakan—di mana dahulu hal tersebut sangat memanjakan gendang telingaku.

Sepanjang perjalan menuju desa Gemuruh, aku melihat sebuah kota yang sedang membangun dirinya menjadi kota metropolis—yang di mataku apabila hal ini terus berjalan, tak lain adalah sebuah proses perlahan menuju gerbang nekropolis. Kemajuan, aku yakin kata itu yang dikatakan para pejabat daerahnya jika kita bertanya tentang perubahan kota ini.

Ratusan hektar sawah berubah menjadi gedung-gedung bertingkat yang angkuh berdiri. Pasar modern atau hyper market hingga mini market, menampakan dirinya di jalan-jalan—dan masuklah untuk mendapatkan sesuatu yang sama dengan apa yang ditawarkan oleh Ibu kota, si Jakarta, sang megapolis Nusantara. Udara yang sejuk, telah bersenggama dengan kepulan asap yang tebal, walaupun tak setebal kontaminasi udara di Jakarta, Semarang, Bandung atau kota-kota besar lainnya yang sangat polutif—maupun kota di mana aku dibesarkan, Bekasi, yang bersaing ketat memproduksi polusi dengan Jakarta. Dan yang paling “menakjubkan” adalah: kota ini termasuk bagian dari kaki Gunung Slamet , namun sungguh ironis karena untuk kebutuhan air bersih sebagian masyarakatnya justu didistribusikan oleh P.A.M. Pabrik-pabrik. Limbah industri—bagus, bukan?

Bagaimana pun anehnya perubahan kota ini, aku tetap tersenyum dan bahagia atas petemuanku dengan saudara-saudaraku yang tersusun menyatu kembali—di mana hal tersebutlah yang menjadi alasan premier-ku untuk datang kembali ke kota ini, memberi klimaks pada rasa rinduku atas saudara-saudaraku, memperkaya interaksi, menjalin silaturahmi dan menjaga komunikasi langsung tanpa media representatif apa pun. Sungguh, sangat membahagiakan pertemuan tersebut.

Terlepas rasa bahagia yang tersulam dari pertemuanku dengan saudara-saudarku, aku sangat menyadari bahwa kerinduanku yang lain ada yang tak terobati—karena suara sunyi malam, gemercik air sungai yang mengalir, nyanyi jangkrik dan katak yang bertabrakan, terusak oleh suara-suara mesin. Aku muak mendengar suara-suara mesin, di mana hal tersebut tak ada bedanya dengan apa yang kudapat di kota-kota besar. Dan di sini, kenapa aku harus mendengar suara mesin?

Kota ini memang berubah. Purwokerto-Purbalingga sedang bergerak maju. Maju?! Jika perubahan kota ini disebut kemajuan, aku sangat meratapinya serta turut berduka cita atas kematian wujud lamanya.

Kereta ini berhenti bersamaan dengan rintik hujan yang mulai menetes. Aku melihat butiran-butiran air itu turun membasahi semua lapisan yang tersangga. Semarang, pagi hari dengan hujan lembutnya, menyambut kami.

Kekasihku mengail tanganku dengan hangat, membisik perlahan di telinga kiriku. Aku menerima ajakannya untuk singgah sesaat di sebuah kedai roti bakar dan kopi yang terletak di pelataran stasiun ini. Sambil menunggu pesanan kami, kekasihku membuka Macbook-nya untuk mengecek surel-nya. Juga, memutar sebuah lagu—dan memang hanya lagu itu yang sengaja diputar, di-repeat.

Pesanan kami sudah menyusup semua ke dalam lambung, kecuali beberapa millimeter kopi yang tersisa dalam gelas kaca. Kedua mata kekasihku masih menelusur kotak masuk di surel-nya; sedangkan bibirnya yang kecil dan berwarna merah bening tanpa lipstick, bernyanyi lembut mengikuti alur lagu yang berputar:

Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi
Di balik awan hitam
Semoga ada yang menerangi sisi gelap ini,
Menanti…
Seperti pelangi setia menunggu hujan reda

Aku selalu suka sehabis hujan di bulan desember,
Di bulan desember

Sampai nanti ketika hujan tak lagi
Meneteskan duka meretas luka
Sampai hujan memulihkan luka.
” ~ Efek Rumah Kaca ~ Desember.

Kurang lebih setengah jam lagu ini melakukan repetisi—yang ditelusuri lengkap oleh kekasihku kata demi katanya, juga repetisinya. Sementara aku, dengan kedua mata yang menikmati butiran-butiran air terlepas dari langit untuk membasahi bumi, memainkan asap rokok-ku—yang sengaja aku gumpalkan seperti buraian kapas yang pergi dari pohonnya karena tersapu angin—untuk melepasnya terbang menuju utara.

Semarang siang hari, kami telah sampai di rumah neneknya; rumah dengan dua lantai, dan hijau muda yang mewarna halus di dinding-dindingnya. Di salah satu kamar yang terletak di lantai dua, aku sedang terduduk di bibir jendelanya. Di hadapanku, kekasihku sedang terduduk di ayunan dengan memeluk sebuah gitar. Petiakan-petikan minor yang dimainkannya, memburai di sekeliling kami tanpa suara mulutnya.

Hujan lembut, yang beberapa jam lalu telah berhenti, kembali menetes dengan butiran yang sedikit lebih tajam. Dan lagi, kekasihku menyanyikan Lagu ‘Desember’-nya Efek Rumah Kaca. Tidak dengan iringan Mp3 yang terputar dari Macbook-nya seperti di kedai kopi dan roti bakar pagi tadi, melainkan dengan gitar yang berada dalam pelukannya. Petikan gitarnya yang halus dan suaranya yang lembut menggais—selembut butiran-butiran hujan di pagi tadi—yang menggodaku untuk mengomentarinya. Aku berkomentar dengan hambar ketika kekasihku telah menghabiskan lagu tersebut: “Aku tau kamu suka hujan. Kamu udah bilang itu berkali-kali! Tapi…ngeliat kamu nyanyi segitunya, bikin aku ketawa tau, gak? Kenapa cuma bisa nyanyi kalo hujan yang kamu suka itu udah minta dipeluk sama kamu?

Aku ngerasa, waktu-waktuku berpelukan erat sama hujan udah jauh lewat—13 tahun lalu.” Balasnya.

Iya…iya, aku juga udah tau kamu pasti jawabnya begitu.” Seiring dengan kekasihku memberikan tanda dan menunjukan bahwa dirinya bukan anak kecil lagi, yang dapat bebas menari dan berpelukan dengan hujan, aku melanjutkan kata-kataku: “Menurutku, kamu takut buat pelukan sama hujan cuma karna kamu gak mau dikatain infantil sama orang lain! Ah, peduli amat sih sama orang lain yang gak pernah ngerti apa yang kita mau! Kalo kamu emang seneng ngalukinnya, peduli setan apa kata orang!

Iya juga sih. Lagi juga, sejak kapan ada peng-klasifikasi-an umur untuk berpelukan sama hujan, ya? Idih, aku selama ini sok tua banget sih…” Kekasihku menjawab, dengan senyum memerah yang menyungging tersipu.

Kekasihku sangat menyukai hujan. Aku, juga sangat menyukai hujan! Dan entah mengapa, keberuntunagn atau keajaiban, semua kekasih-kekasihku di waktu lalu juga para penyuka hujan. Hanya ada seorang wanita yang pernah menjadi kekasihku beberapa bulan lalu, yang mana aku tak pernah mengatahui apakah wanita tersebut menyukai hujan atau tidak—karena memang hubungan yang terjalin antara aku dan wanita tersebut adalah hubungan teraneh, terpendek dan terbeku yang pernah aku jalani seumur hidupku.

Seperti sudah aku uraikan, bahwa kekasihku sangat menyukai hujan, tapi enggan untuk memeluknya hanya karena mata orang lain yang tak pernah melihat dengan jelas apa yang dia mau dan rasakan. Dan kini, selama enam bulan aku menjalin cinta dengan kekasihku; pada hari ini, di kota Semarang, kekasihku mendobrak ke-engganan-nya lalu menarik tanganku cepat dan gesit untuk kemudian berpelukan dengan hujan. Akhir Desmber ini, adalah mandi hujan bersama untuk pertama kalinya yang aku lakukan dengan dirinya.

Bukan Sekedar Reproduktif

Bahwa tidak ada tempat yang lebih menyedihkan di dunia ini daripada sebuah ranjang yang dingin.” ~ Gabriel Garcia Marquez ~ Chronicle Of A Death Foretold

Sudah sekitar setengah jam lebih aku hanya asik berbincang-bincang dengan istri kawanku di beranda rumahnya. Kekasihku, sedari-tadi kami datang di rumah kawanku ini terlalu asik bermain dengan satu-satunya anak mereka di luar. Sementara kawanku, sang suami, hanya duduk membisu di samping istrinya—yang berhadap-hadapan denganku—dengan tatapan kosong.

Aku sangat ingat, kawanku yang memintaku untuk datang berkunjung ke rumahnya sore ini—dengan sedikit memohon—karena ada hal cukup penting yang ingin di bicarakan oleh mereka berdua kepadaku. Namun, yang aku dapat hanya sapaan darinya ketika aku dan kekasihku baru muncul di pagarnya: “Apa kabar, kalian?” Setelahnya, tak ada lagi kata-kata kawanku yang menetes dari bibirnya selama setengah jam itu, selain: “Mau minum apa, kalian?

Aku tak tahu apa yang terjadi dengan kawanku. Setiap aku berkata kepadanya, tak ada reaksi sekecil apa-pun yang hadir darinya untuk merespons-ku. Hanya istrinya yang menjawab semua kata-kataku yang aku tujukan kepadanya. Jujur, aku cukup kesal dengan perlakuan dingin kawanku ini. Sungguh aneh bagiku. Dengan meneguk kopi hangat yang di sediakan oleh adik iparnya, aku membiarkan kawanku membisu seperti orang tolol yang fatalis. Tak ada kata-kata lagi yang aku gulirkan kepadanya. Aku memilih berbicara dengan istrinya saja. Berbicara tentang anak mereka.

Saat aku meneguk kopi yang di sajikan dengan cangkir bergambarkan kepulauan Indonesia, istrinya membuka lembar pembicaraan baru. Tentang teh dan kopi. Juga menjalar ke Karl Marx dan Tan Malaka. Aku baru mengetahui darinya, bahwa Tan Malaka adalah penikmat gila teh, sedangkan kopi adalah kesukaan Karl Marx. Bagiku, istrinya sangat lihai meniti temali untuk menyambung pembicaraan di antara aku dan dirinya. Pembicaraan yang terjalin hangat di bisunya kawanku yang hanya duduk terdiam seperti patung Arca—atau juga layaknya bangkai ikan-ikan segar yang membelalakan matanya di atas es batu, di dini harinya Muara Angke.

Tak terasa, senja telah mendatar membelenggu langit ketika istrinya berjalan meninggalkan kami berdua menuju depan jalan—di mana kekasihku sedang bermain bersama anak mereka. Seketika saja—sesaat setelah istrinya menguap dari pandangan kami—bleger, seperti dentuman halilintar yang menohok gendang telingaku saat aku mendengar kawanku berkata singkat kepadaku: “Istri gw cinta sama lo!

Kini, wajahku mungkin yang terlihat seperti bangkai ikan-ikan segar. Aku, ah…entahlah. Dan aku hanya bisa berkata: “Apa? Gila lo ah!” Dengan sunggingan senyum layaknya wajah yang menahan rasa tidak nyamannya sakit gigi, aku kembali berkata, mengutip Mahatma Ghandi: “If I had no sense of humor, I should long ago have committed suicide.

Bego! Ini serius!” Tatapnya tajam dengan mata yang tetap membelalak.

Jujur saja, aku masih meletakan kata-katanya sebagai lelucon. Aku mencoba mempertanyakan kepadanya, apakah hanya untuk lelucon ini dia memohon kepadaku agar aku berkunjung ke rumahnya. Sungguh, humor kelas wahid. Namun, apa yang aku dengar darinya selanjutnya ternyata memutar peletakanku akan kata-katanya hingga 90 derajat.

Dia menuturkan kecurigaannya terhadap istrinya secara men-detail kepadaku. Dari apa yang aku tangkap secara garis besar penuturannya, istrinya selalu menanyakan tentang diriku—semenjak mereka mengetahui aku kini telah tiga minggu berada di Bekasi. Bahkan, menurutnya, istrinya kini merajah tubuhnya untuk menuliskan namaku—tepat di bagian kiri pinggulnya—tanpa dia tahu kapan persisnya istrinya membuat tato itu. Dan ternyata, apa yang membuatnya menghubungiku untuk memintaku berkunjung ke rumahnya lebih karena dia malas menjawab pertanyaan-pertanyaan dari istrinya—yang menanyakan tentang diriku, dan terlebih setelah adanya tato itu. Sementara, kepentingan pribadi kawanku atas diriku hanya untuk sekedar membertitahuku bahwa istrinya mencintaiku.

Dahiku mulai berkerut, terlihat silindris mungkin. Akan tetapi, aku mencoba menyanggah kecurigaanya terhadap istrinya. Aku berkata padanya: “ Kalo istri lo cuma nanya-nanya tentang gw, itu mah wajar. Namanya juga kawan! Tapi, buat yang tato itu, emang lo yakin nama gw yang tertulis?

Gw satu ranjang sama dia, Ji! Gw yakinlah! “ Dia meyakinkanku dengan tegasnya. Kemudian, melanjutkan kata-katanya dengan lebih tenang : “ Iya, buat gw juga kalo sekedar nanya-nanya tentang lo, itu masih wajar! Tapi, setelah gw liat tato itu, yah gw jadi curigalah—dan pertanyaan-pertanyan istri gw itu kan jadi semacam indikasi juga untuk semakin nguatin kecurigaan gw sama dia.

Pembicaraan kami terhenti ketika langkah-langkah anaknya yang berlari dengan riangnya—di ikuti dengan istrinya dan kekasihku sekitar tiga meter di belakangnya—menuju ke arah kami. Kawanku menghentikan langkah kaki anaknya dengan pelukan, menggendongnya, lalu melangkah masuk meninggalaknku di beranda rumahnya. Istrinya kembali menemaniku, mengambil kursi di hadapanku. Sedangkan kekasihku, mengambil kursi di sisiku. “Aku dengar kamu punya tato baru. Boleh liat?” Tanyaku kepada istrinya.

Wow, aku juga mau liat dong!” Timpal kekasihku.

Istrinya tersenyum, kemudian mengangkat perlahan bagian bawah kaosnya yang bergambar wajah Morrissey. “A J I.” Baca kekasihku terhadap tato yang menghiasi pinggul itu.

Entah kenapa, aku lebih suka membacanya secara benar dan tepat terhadap apa yang tertulis di pinggulnya yang sangat eksotis itu: “4 J 1”. Mungkin karena aku ingin menolak latar belakang kecurigaan kawanku kepada istrinya itu. Atau mungkin hal lainnya, mungkin. Namun, terlepas probabilitas-probabilitas itu, toh apa yang tertulis di sana memang: “4 J 1”, bukan “A J I”—di mana di atas tulisan itu juga tersaji gambar dua orang yang sedang berpelukan hangat.

“’4 J 1’, bukan ‘A J I’. Kamu salah baca tuh!” Ucapku kepada kekasihku.

Tepat!. Tato-ku itu bertuliskan: ‘4 J 1’, bukan ‘A J I’. ‘4 J 1’ tuh maksudnya: 4 Januari 2001, tanggal pernikahanku!” Timpal sang pemilik tato, membenarkanku.

Setelah—sedikit perbincangan tentang tato miliknya, yang di lanjutkannya dengan—bercerita tentang dinginnya suasana rumah mereka beberapa hari ke belakang, kami beranjak dari beranda untuk masuk ke dalam rumahnya ketika ungunya langit membentang menandakan senja akan segera berakhir. Aku sudah mendapatkan sebuah konklusi bahwa kawanku hanya salah dalam membaca tato istrinya itu. Kini, yang tersisa dan membuatku tak habis pikir adalah, bagaimana kawanku mengambil keputusan bahwa tato itu adalah tato yang meng-indikasi-kan bahwa istrinya mencintaiku. “4 J 1”, bukan “A J I”. Di mana tato itu adalah sebuah akronim dari hari pernikahan mereka, 4 Januari 2001. Aku masih ingat hari itu. Hari di mana tujuh bulan setelah kelulusan mereka dari jenjang pendidikan SMA. Hari di mana sepasang insan yang saling mencintai sepakat membentuk sebuah keluarga.

Di ruang santai rumahnya, aku menghampiri kawanku yang sedang terduduk di hadapan laptop-nya. Aku mempertanyakan komunikasi dan interaksi yang terjalin di antara mereka belakangan ini. Sebab, sebagaimana yang di tuturkan oleh istrinya, bahwa interaksi dan komunikasi mereka beberapa minggu ini beku—terlebih sembilan hari terakhir. Aku pun membulatkan perkiraanku sendiri akan kesalahpahaman di antara mereka—yang kini juga sudah melibatkanku di dalamnya—bahwa kesalahpahaman ini berakar dari aktifitas ranjang mereka. Sebab, bagaimana mungkin aktifitas ranjang mereka baik-baik saja, sementara salah satu di antara mereka tak pernah benar-benar peduli atas tubuh lawan mainnya.
Bekunya komunikasi dan interaksi di antara mereka, menjadi semakin parah karena “infantil-nya” aktifitas ranjang mereka.

Dan benar saja, dari apa yang tertutur lewat bibir kawanku adalah, bahwa semenjak sembilan hari lalu—ketika dia baru melihat tato baru itu menghiasi pinggul istrinya—itu adalah hari di mana mereka melakukan aktifitas seksual terakhirnya, atau pertama kalinya dengan tato di pinggul istrinya. Setelah aktifitas seksual itu, kawanku tak pernah lagi menyentuh istrinya—juga tak berkomunikasi dalam bentuk apa-pun jika istrinya tak membuka komunikasi terlebih dahulu.

Elo tau, kenapa istri lo dua minggu ke belakang selalu nanyain gw?” Tanyaku, dengan senyum yang menggunting. “Terus, kenapa istri lo lima hari lalu ngajak adiknya untuk tinggal di sini bersama kalian?

Dia memalingkan tatapannya dari layar laptop ke wajahku. Tak berkata apa-apa. Lalu, aku pun memberi alasannya: “Bukannya gw bermaksud sok tau, tapi tadi istri lo cerita ke gw, kalo suasana rumah ini berubah sejak lo terlalu banyak ngabisin muka di depan laptop. Emang seharian lo di kantor, apa gak muak sama alat sok pinter ini, sampe saat di rumah lagi-lagi lo berjam-jam ngabisin waktu di depan alat ini? Istri lo kesepian, dia butuh lawan bicara!

Dia terus menatapku, lalu secara perlahan mulai berkata: “Itu sih gw udah tau, dia udah sering ngomong kok!

Gila lo, ya! Terus… kenapa lo gak coba menghangatkan suasana rumah lo?

Kalo aja gak pernah ada tato di pinggulnya malem itu saat gw lagi main di ranjang sama dia, semua udah pasti lebih baik, gak bakal lebih ancur kaya gini! Pokoknya, beku-beku sekalian deh antara gw sama istri gw, kecuali untuk anak gw!

Nah, itu lo udah tahu kelemahan pertama lo itu di mana, dan lo sebenernya mau memperbaikinya. Tapi, elo gak sadar akan kelemahan kedua lo, dan itu yang terfatal—kalo dari kacamata gw sih—yang bikin lo jadi salah paham ama istri lo, dan gak jadi memperbaiki kelemahan pertama lo… malah memperparahnya.

Kok jadi panjang sih, makin gak jelas lagi omongan lo! Gak ngerti gw.”

Yaudah, gw perpendek aja dengan kata-kata yang panjang biar lo puas, gw juga mau pulang kok bentar lagi.” Aku tertawa. Tertawa sedih atas aktifitas ranjangnya. “Coba entar lo liat lagi dan bener-bener perhati’in tato istri lo, terus tanya makna filosofis tato-nya kalo lo gak ngerti! Gw sama cewe gw tadi udah liat dan juga udah tau tato istri lo! Niat istri lo dengan tato-nya itu, menurut gw sih, tindakan apresitif untuk hubungan kalian.” Aku tersenyum, sementara wajahnya semakin nampak bingung dengan apa yang aku maksud. Aku kembali berkata—mungkin dalam pandangannya—dengan gayaku yang semakin sok tahu: “ Tapi, emang dasarnya aja lo yang payah. Mungkin, elo pemain ranjang terburuk yang pernah gw kenal. Bahkan untuk pinggul se-eksotis punya lawan main lo yang jelas-jelas daerah ‘terang’, elo gak pernah betul-betul peduli buat merhati’in—apalagi daerah-daerah yang ‘gelap’. Gw gak ngerti gimana cara lo bermain di ranjang. Mungkin kaya permainan bola Inggris jaman dulu—‘Kick n Rush’, ya? Seks, bukan sekedar kegiatan reproduktif, Bego; bukan juga sekedar tendang-buang, ataupun teken-tarik! Payah lo…ah!

Sekitar delapan jam setelah kepulanganku dan kekasihku dari rumah mereka, atau tepatnya dini hari saat aku terbangun dari tidurku di sofa ruang tv rumah kekasihku, ponselku berdering: “Tato yang keren! Hehehe……” Sebuah pesan masuk, yang di kirim oleh kawanku ini.

Aku tertawa cekikian seorang diri setelah membaca pesan dari kawanku. Kekasihku terbangun dari tidur nyenyaknya. Mungkin karena merasa terusik dengan suara tawaku. Aku tersenyum untuk menyambut wajah kekasihku yang baru di angkatnya dari dadaku. Kemudian, aku menatap layar ponseku kembali dan membalas pesan dari kawanku: “Tolong di konfirmasi, apa lo yakin kalo istri lo bener cinta sama gw? Dan ucapin makasih banget atas nama gw yang di rajah di pinggulnya!

Moron bin ass hole! Tato itu tulisannya ‘4-J-1’, bukan ‘A-J-I’. Jangan mimpi lo! Hehehe……” Balasnya, bukan melalui sebuah pesan pendek, melainkan suara memecah yang di antar oleh microphone ponselnya ke speaker ponselku.