Angkotan kota ini berhenti dari lajunya yang perlahan. Dua orang wanita menaikinya dan duduk di hadapanku. Mereka berdua asik berbincang dan tertawa ringan di dalam mobil berkapasitas 15 orang ini. Aku, yang duduk di hadapan mereka, membisu dalam fokus-ku untuk memperhatikan salah satu dari mereka yang di mataku berkilau di redupnya Semarang sore ini. Jujur, sebenarnya aku ingin terlibat dalam komunikasi mereka. Namun, aku sadar bahwa perbincangan mereka tidak memberikan tempat kosong untuk orang asing sepertiku—yang mana apabila aku memaksakan untuk ikut terlibat, maka aku akan terlihat seperti orang aneh yang sok akrab, juga sok tahu—kecuali jika aku membuka wacana baru dengan menggunakan taktik klasik untuk memulai perbincang dengan mereka. Tetapi, seandainya aku mengambil sebuah pengecualian itu, mungkin aku akan merusak tawa mereka.
Sepanjang perjalanan mereka berbincang dan tertawa, hingga akhirnya salah seorang wanita tersebut turun meninggalkan kawan berbincangnya. Di sinilah keberuntunganku. Wanita yang masih bersamaku dalam angkutan kota ini adalah wanita yang memang menarik perhatianku dengan kilaunya. Aku pun menyapanya. Dan sungguh, ketika dia merespon-ku dengan senyuman indah dan suaranya yang sangat lembut, aku dibawa terjatuh dan mencair.
Semoga jalan sepanjang Salemba hingga Cikini di Jakarta atau Monjali hingga Gejayan di Jogjakarta—maupun di mana saja—dapat menjadi saksi untuk pertemuanku selanjutnya dengan wanita ini, sebagaimana jalan di sepanjang Universitas Sultan Agung, Kota Lama, hingga Simpang Lima yang menjadi saksi atas waktu yang kuhabiskan untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi dengan penuh kehangatan.
Wanita ini, meninggalkan sesuatu di hatiku.
*prikitiw*
layboy…
si doi dikemanain? 😀
$ Meszi. ow ow ow, so bad!
@ Aji. Jatuh Cinta! hEy hey hahaha
4 Luri. gak ada yang salah kan dengan jatuh cinta–sekalipun seandainya kita sudah punya kekasih? cuma jujur ama apa yang dirasa aja kok…